Di pasar yang volatil, frase "buy the dip" telah berkembang dari sekadar strategi menjadi sebuah insting.
Di balik setiap keputusan pembelian yang tepat waktu, ada kekuatan emosional yang besar yang mendasarinya.
Daya tarik dasar dari membeli di saat harga turun cukup sederhana: orang-orang suka mendapatkan diskon. Sama halnya dengan konsumen yang merasa senang saat harga barang di toko tiba-tiba turun, para investor pun merasakan sensasi yang mirip ketika pasar jatuh. Namun, kegembiraan ini seringkali menyembunyikan konflik psikologis yang lebih dalam.
Ian Shepherdson, kepala ekonom di Pantheon Macroeconomics, memberikan saran mengenai cara menghadapi volatilitas pasar: "Jika toleransi risiko emosional Anda tidak sejalan dengan jangka waktu investasi Anda, Anda mungkin akan membuat keputusan yang kurang optimal."
Bias kejadian terbaru atau recency bias memiliki peran besar dalam keputusan membeli yang terburu-buru saat harga turun. Jika pasar sudah mengalami pemulihan berturut-turut dalam beberapa bulan terakhir, banyak trader yang mulai menganggap bahwa setiap penurunan harga akan segera kembali naik. Bias psikologis ini bisa bekerja dengan baik pada siklus pasar yang bullish, ketika likuiditas dan sentimen mendukung. Namun, dalam iklim ekonomi yang berubah atau tidak pasti, asumsi semacam ini bisa menjadi sangat berbahaya. Trader yang terjebak oleh tren kemarin sering kali terperangkap, menganggap penurunan harga kali ini akan berakhir seperti yang terakhir—hanya untuk mendapati pasar terus bergerak turun.
Investor profesional mengurangi risiko ini dengan memeriksa konteks yang lebih luas: regime volatilitas, indikator makro, dan perilaku volume pasar. Ketika bias kejadian terbaru diakui dan dikoreksi, keputusan masuk pasar menjadi lebih strategis, bukan reaktif.
Koreksi pasar seringkali terjadi dalam gelombang kepanikan kolektif, dan ironisnya, kepanikan ini justru memicu gelombang pembelian berikutnya. Bukti sosial atau social proof adalah kekuatan psikologis yang sangat besar, yang membuat trader merasa tervalidasi ketika orang lain melakukan hal yang sama. Logikanya menjadi melingkar: "Jika semua orang membeli saat harga turun, pasti ini keputusan yang cerdas."
Padahal, kenyataannya perilaku kerumunan ini sering kali berujung pada eksposur yang berlebihan dan keputusan masuk pasar yang terburu-buru. Data dari survei sentimen investor secara teratur menunjukkan lonjakan pembelian oleh investor ritel saat terjadi penurunan pasar, meskipun para pemain institusional tetap waspada. Tak jarang, perasaan FOMO (fear of missing out) mengaburkan pengambilan keputusan. Kecemasan karena takut ketinggalan dan tidak bertindak sementara orang lain melakukannya bisa mengalahkan kewaspadaan. Namun, para trader yang sukses melatih diri untuk bertindak berdasarkan keyakinan, bukan tekanan kerumunan.
Perbedaan utama antara investor berpengalaman dan spekulator jangka pendek terletak pada cara mereka memaknai penurunan harga. Bagi investor jangka panjang, penurunan harga sebesar 10% mungkin dianggap sebagai kesempatan, terutama jika dasar-dasar ekonomi yang mendasarinya tetap kuat. Namun, bagi trader yang bergantung pada momentum, penurunan yang sama bisa dianggap sebagai tanda bahwa tren sedang berubah.
Masalah muncul ketika para aktor jangka pendek mengadopsi pola pikir jangka panjang di tengah transaksi. Pembelian pada saat harga turun yang awalnya dimaksudkan untuk dipertahankan hanya beberapa jam, bisa berubah menjadi investasi yang dipertahankan selama berminggu-minggu begitu harga berbalik merugi. Perubahan identitas ini sering kali menyebabkan manajemen risiko yang buruk dan pengeluaran yang tertunda.
Banyak trader yang membenarkan keputusan membeli saat harga turun dengan indikator teknikal dan grafik. Meskipun alat-alat teknis ini bisa meningkatkan presisi, mereka sering kali justru berfungsi sebagai rasionalisasi pasca-keputusan, untuk mengonfirmasi impuls yang sudah ada sebelumnya. Fenomena ini dikenal dengan confirmation bias, yaitu kecenderungan untuk menafsirkan data dengan cara yang mendukung tindakan yang sudah dipilih. Trader yang sudah berniat membeli aset yang sedang jatuh sering kali "melihat" zona support atau setup divergensi, meskipun sinyal-sinyal tersebut lemah atau bahkan saling bertentangan.
Pembelian yang cerdas di saat harga turun sering kali membutuhkan waktu yang tidak terduga: masuk pasar setelah kepanikan, bukan di tengahnya. Namun, penundaan ini memerlukan ketahanan psikologis. Menunggu konfirmasi, meskipun orang lain bertindak terburu-buru, membutuhkan disiplin dan kepercayaan pada kerangka yang dimiliki. Penelitian ilmu saraf menunjukkan bahwa menunda kepuasan segera mengaktifkan area-area di otak yang terkait dengan perencanaan jangka panjang dan pengaturan emosi. Trader yang mengembangkan kemampuan untuk menunggu tanpa merasa terhenti cenderung tampil lebih baik dibandingkan dengan mereka yang bertindak dengan rasa urgensi.
Membeli saat harga turun bukan hanya tentang strategi harga. Ini adalah kinerja psikologis. Keberhasilan datang bukan dari masuk pasar lebih awal, tetapi dari masuk dengan pemahaman yang jelas tentang risiko, jangka waktu, dan kondisi emosional diri sendiri. Para profesional memahami bahwa tidak setiap penurunan harga layak untuk diperhatikan, dan tidak setiap diskon adalah peluang. Keunggulan sesungguhnya terletak pada kesadaran diri, kesabaran, dan disiplin. Grafik menunjukkan harga. Namun, pikiran mengendalikan tindakan.
Jika Anda merasa sering gagal dalam membeli saat harga turun atau merasa terjebak dengan keputusan yang impulsif, mungkin ini saatnya untuk mengubah pendekatan Anda. Artikel ini menyajikan wawasan yang bisa membantu Anda menjadi trader yang lebih disiplin dan lebih bijak dalam menghadapi volatilitas pasar.