Pernahkah Anda berdiri di belakang mobil tua di lampu merah dan mencium asap knalpotnya yang pekat? Itulah aroma polusi yang saat ini berusaha keras dihilangkan oleh teknologi emisi modern.
Mobil dengan mesin pembakaran dalam (ICE) masa kini melepaskan jauh lebih sedikit polutan dibandingkan kendaraan 20 tahun lalu, bukan karena pengemudinya berubah, tapi karena inovasi teknik dan regulasi yang menuntut produsen mobil untuk memperbaiki kualitas udara.
Perjalanan menuju knalpot yang lebih bersih bukan semata soal mengganti bahan bakar, melainkan bagaimana teknologi memaksimalkan performa mesin, sistem knalpot, dan otak elektronik yang mengendalikan semuanya. Dan pendorong utama di balik kemajuan ini? Standar lingkungan yang semakin ketat yang membuat produsen mobil tidak punya pilihan selain berinovasi.
Sebelum membahas teknologi, ada baiknya kita mengenal dulu jenis-jenis polutan yang menjadi target utama regulasi:
Karbon Monoksida (CO) – Gas beracun hasil pembakaran tidak sempurna.
Nitrogen Oksida (NOx) – Penyebab kabut asap dan gangguan pernapasan.
Partikulat (PM) – Partikel kecil yang berbahaya bagi paru-paru.
Hidrokarbon Tak Terbakar (HC) – Dapat bereaksi dengan sinar matahari membentuk ozon.
Setiap polutan membutuhkan cara penanganan berbeda, itulah mengapa sistem emisi mobil modern sangat kompleks dan berlapis.
Catalytic converter sudah menjadi jantung pengendalian emisi sejak tahun 1970-an, tapi unit modern jauh lebih canggih. Konverter tiga arah masa kini mampu mengurangi NOx, mengoksidasi CO, dan membakar hidrokarbon yang belum terbakar, semua dalam satu alat yang sama.
Rahasianya terletak pada lapisan logam mulia seperti platinum, palladium, dan rhodium yang mempercepat reaksi kimia pada suhu lebih rendah. Desain terbaru mampu mencapai suhu kerja dengan cepat setelah mesin dinyalakan, perbaikan penting karena sebagian besar polusi terjadi pada menit-menit awal berkendara.
Yang benar-benar membawa catalytic converter ke level berikutnya adalah kehadiran Engine Control Unit (ECU). Unit komputer kecil ini mengatur injeksi bahan bakar, pengapian, dan aliran udara puluhan kali per detik agar pembakaran tetap bersih.
Misalnya, sensor oksigen tipe wideband mengukur kadar oksigen di knalpot dan mengirim data ke ECU. Dengan informasi ini, ECU menyesuaikan campuran bahan bakar dan udara supaya mendekati rasio stoikiometri, cukup oksigen untuk membakar bahan bakar secara sempurna, tanpa berlebihan yang dapat meningkatkan NOx.
Menurut Society of Automotive Engineers (SAE), penggunaan pengendalian elektronik tertutup ini telah menurunkan emisi CO rata-rata kendaraan penumpang lebih dari 80% sejak tahun 1990-an.
Emisi NOx cukup sulit dikendalikan, terutama pada mesin bensin dengan kompresi tinggi dan mesin diesel. Dua teknologi utama yang umum digunakan adalah:
Exhaust Gas Recirculation (EGR) – Mengalirkan sebagian gas buang kembali ke ruang bakar untuk menurunkan suhu pembakaran dan mengurangi NOx.
Selective Catalytic Reduction (SCR) – Menyemprotkan cairan berbasis urea ke knalpot yang menguraikan NOx menjadi nitrogen dan air yang tidak berbahaya.
Sistem SCR yang dulu hanya digunakan pada truk besar kini sudah umum di kendaraan diesel penumpang, membuat mereka memenuhi standar Euro 6 dan Tier 3 di Amerika Serikat.
Mesin bensin secara tradisional menghasilkan lebih sedikit partikulat dibanding diesel, tapi teknologi injeksi langsung bensin (GDI) mengubah itu. GDI menyuntikkan bahan bakar langsung ke silinder untuk efisiensi lebih baik, tapi menghasilkan lebih banyak jelaga.
Solusinya adalah filter partikulat bensin (GPF), sebuah struktur keramik berpori yang menangkap partikel jelaga hingga dibakar saat suhu knalpot tinggi. Dikombinasikan dengan teknologi penyemprotan bahan bakar yang lebih halus, GPF mampu memangkas emisi partikulat hingga 90%.
Teknologi ini bukan sekadar pengembangan tanpa tujuan, standar lingkungan seperti Tier 3 EPA di Amerika dan Euro 6d di Eropa menetapkan batas emisi ketat per kilometer. Produsen mobil harus mematuhi aturan ini atau tidak boleh menjual kendaraannya.
Sebagaimana ditekankan oleh profesor emeritus MIT John B. Heywood, regulasi adalah kunci utama dalam memacu inovasi teknologi pengendalian emisi dengan menciptakan insentif kuat untuk pembakaran yang lebih bersih.
Setiap lapisan teknologi emisi tentu membawa tambahan biaya, kompleksitas, dan kadang bobot kendaraan. Catalytic converter menggunakan logam mulia yang harganya fluktuatif, filter partikulat perlu regenerasi berkala, dan sistem SCR memerlukan pengisian cairan urea.
Namun bagi sebagian besar pengguna, sistem ini bekerja tanpa terlihat dan perawatan yang diperlukan hanya sebatas servis rutin. Mengingat manfaat besar bagi kesehatan dan lingkungan, kompromi ini diterima luas oleh pengendara dan pemerintah di seluruh dunia.
Meski kendaraan listrik makin populer, mesin pembakaran dalam tidak akan hilang dalam waktu dekat. Dalam dekade mendatang, kita akan melihat:
- Hybridisasi, Menggabungkan motor listrik dengan mesin untuk mengurangi beban dan emisi.
- Mode pembakaran canggih seperti Homogeneous Charge Compression Ignition (HCCI) yang membakar bahan bakar lebih bersih.
- Peningkatan kecepatan katalis mencapai suhu kerja untuk mengurangi polusi saat mesin baru dinyalakan.
Inovasi ini, didorong oleh kemajuan teknologi dan regulasi yang semakin ketat, akan terus menekan emisi kendaraan ICE mendekati nol dalam kondisi berkendara nyata.
Jadi, saat Anda menyalakan mobil di cuaca dingin pagi hari, ingatlah bahwa ada simfoni rumit dari kimia, elektronik, dan pengelolaan panas yang bekerja cepat demi menjaga udara tetap bersih. Perjalanan menuju kendaraan dengan emisi rendah bukan hanya tentang bahan bakar baru, tapi tentang membuat setiap embusan knalpot menjadi lebih ramah lingkungan dari sebelumnya.