Hashimoto’s thyroiditis merupakan salah satu penyakit autoimun yang cukup sering terjadi, namun sayangnya sering tidak dikenali sejak awal. Kondisi ini muncul ketika sistem kekebalan tubuh justru menyerang kelenjar tiroid sendiri.
Akibatnya, terjadi peradangan kronis yang secara perlahan merusak jaringan tiroid dan menurunkan kemampuannya dalam memproduksi hormon.
Dampaknya sering kali berujung pada hipotiroidisme, yakni keadaan ketika tubuh kekurangan hormon tiroid yang vital bagi metabolisme dan fungsi organ.
Hashimoto’s thyroiditis pada dasarnya adalah respons autoimun, di mana sel-sel limfosit menyerang sel folikel tiroid. Mekanisme ini melibatkan dua jalur utama, yaitu:
- Imunitas humoral – ditandai dengan munculnya antibodi terhadap enzim thyroid peroxidase (TPO) dan protein tiroglobulin.
- Imunitas seluler – melalui serangan langsung sel imun yang mempercepat kerusakan jaringan tiroid.
Selain faktor imun, predisposisi genetik memiliki peran besar. Variasi pada gen tertentu, termasuk tipe HLA, dapat meningkatkan kerentanan seseorang terhadap penyakit ini. Namun, faktor lingkungan tidak kalah penting. Asupan yodium berlebih, kekurangan nutrisi penting seperti selenium, zat besi, dan vitamin D, serta gangguan keseimbangan mikrobiota usus diyakini memicu atau memperburuk proses autoimun.
Proses ini menciptakan siklus yang berulang: peradangan, kerusakan jaringan, terbentuknya jaringan parut (fibrosis), dan penurunan produksi hormon. Uniknya, pada beberapa fase, pasien justru mengalami hashitoxicosis, yaitu keadaan sementara di mana hormon tiroid dilepaskan dalam jumlah banyak akibat hancurnya sel-sel tiroid, sehingga muncul gejala mirip hipertiroid.
Salah satu tantangan terbesar dari Hashimoto’s thyroiditis adalah gejalanya yang berkembang perlahan dan cenderung samar. Penderita biasanya memulai perjalanan penyakit dalam keadaan eutiroid (fungsi tiroid normal), kemudian berlanjut ke tahap subklinis hingga akhirnya menjadi hipotiroid yang nyata.
Beberapa gejala awal sering diabaikan karena dianggap masalah umum sehari-hari, antara lain:
- Mudah lelah
- Intoleransi terhadap cuaca dingin
- Berat badan meningkat tanpa sebab jelas
- Kulit kering
- Konsentrasi menurun atau sering merasa lambat dalam berpikir
Pada pemeriksaan fisik, sering ditemukan gondok yang terasa keras namun tidak nyeri. Hal ini terjadi karena infiltrasi limfosit dan perubahan jaringan akibat fibrosis. Meski demikian, ada kalanya penderita mengalami fase singkat hipertiroid, misalnya jantung berdebar, mudah cemas, atau berkeringat berlebihan, sebelum akhirnya beralih ke hipotiroid kembali.
Kombinasi gejala samar, perubahan fungsi hormon yang berfluktuasi, dan perjalanan penyakit yang diam-diam sering kali menyebabkan keterlambatan diagnosis. Banyak pasien baru mengetahui setelah kondisinya cukup berat.
Diagnosis Hashimoto’s thyroiditis tidak bisa hanya mengandalkan gejala. Pemeriksaan laboratorium menjadi kunci utama. Beberapa indikator penting antara lain:
- Kadar antibodi anti-TPO dan anti-tiroglobulin yang meningkat.
- Tes fungsi tiroid yang menunjukkan TSH tinggi dan kadar FT4 rendah pada fase hipotiroid.
Selain itu, pemeriksaan ultrasonografi tiroid dapat membantu. Gambaran khas yang ditemukan adalah struktur tiroid yang heterogen akibat peradangan dan fibrosis. USG juga membantu membedakan Hashimoto’s dari penyakit tiroid lainnya.
Hingga kini, terapi utama Hashimoto’s thyroiditis adalah pemberian levothyroxine, yaitu hormon tiroid sintetis yang berfungsi menggantikan hormon alami tubuh. Obat ini mampu mengembalikan kadar hormon ke tingkat normal sehingga gejala dapat mereda dan kualitas hidup pasien meningkat.
Namun, penelitian terbaru membuka peluang terapi tambahan. Beberapa studi menunjukkan suplemen selenium dapat membantu menurunkan kadar antibodi tiroid sehingga mungkin memperlambat progresi penyakit. Dukungan nutrisi lain seperti zat besi dan vitamin D juga diyakini memiliki peran protektif.
Menurut Dr. Peter Kopp, seorang ahli endokrinologi terkemuka, Hashimoto’s thyroiditis mencerminkan kompleksitas interaksi sistem imun dalam fisiologi endokrin. Ia menekankan bahwa strategi perawatan masa depan tidak hanya berhenti pada terapi pengganti hormon, tetapi juga mencakup pendekatan modulasi imun untuk memberikan harapan baru bagi pasien.
Hashimoto’s thyroiditis adalah penyakit autoimun tiroid yang sering kali tidak disadari hingga kondisi cukup parah. Gejala yang samar, perjalanan yang lambat, serta adanya fluktuasi hormon membuat diagnosis sering terlambat ditegakkan.
Peningkatan pemahaman mengenai dasar genetik, mekanisme imunologis, serta faktor lingkungan membuka jalan bagi pendekatan perawatan yang lebih personal. Di masa depan, terapi tidak hanya berfokus pada penggantian hormon, melainkan juga pada pemeliharaan sistem imun agar kerusakan tiroid dapat dicegah sejak dini.