Emas sejak lama dikenal sebagai aset perlindungan di tengah ketidakpastian ekonomi.


Namun, bagaimana perilaku emas ketika resesi melanda sebenarnya menunjukkan permainan kompleks antara kekuatan pasar, psikologi investor, dan kebijakan moneter. Saat badai ekonomi datang, emas tak sekadar bertahan, ia justru bersinar lebih terang.


Kinerja Historis: Emas sebagai Aset Penyeimbang Saat Krisis


Dalam berbagai krisis ekonomi, emas telah terbukti tangguh dan kerap mengungguli pasar saham tradisional. Misalnya, ketika krisis keuangan global tahun 2008 mengguncang pasar, harga emas justru melonjak sekitar 25%, sementara indeks S&P 500 anjlok hampir 38%. Hal serupa terjadi selama resesi akibat pandemi COVID-19 pada tahun 2020, di mana harga emas kembali naik sekitar 24% di tengah gejolak pasar yang luar biasa.


Fenomena ini bukan kebetulan. Saat kepercayaan terhadap sistem keuangan mulai luntur, investor secara naluriah beralih ke emas sebagai tempat berlindung. Data grafik selama beberapa dekade menunjukkan bahwa emas sering kali mengalami lonjakan nilai riil saat resesi berlangsung, menjadikannya pelindung yang andal terhadap risiko sistemik.


Kebijakan Moneter dan Suku Bunga: Pemicu Lonjakan Emas


Bank sentral di seluruh dunia, termasuk Federal Reserve di Amerika Serikat, biasanya merespons resesi dengan menurunkan suku bunga dan menerapkan pelonggaran moneter. Langkah ini membuat biaya peluang untuk memegang emas menjadi lebih rendah. Saat suku bunga jatuh, daya tarik emas meningkat.


Contohnya terlihat jelas saat krisis 2008 dan pandemi 2020, ketika kebijakan suku bunga rendah diiringi lonjakan harga emas. Saat ini, pasar juga mengantisipasi penurunan suku bunga lebih lanjut karena risiko resesi kembali membayangi. Ini memberikan angin segar bagi emas untuk kembali melambung. Kurva imbal hasil yang menanjak, di mana suku bunga jangka panjang naik lebih cepat daripada jangka pendek sering kali menjadi sinyal awal resesi dan pertanda penguatan emas.


Pengaruh Nilai Tukar dan Inflasi: Ancaman yang Menguntungkan Emas


Resesi sering kali diiringi oleh kebijakan fiskal ekspansif dan stimulus besar-besaran, yang menimbulkan kekhawatiran terhadap penurunan nilai mata uang dan inflasi. Dalam kondisi seperti ini, emas yang tidak tergantung pada janji pemerintah mana pun menjadi lindung nilai yang sangat dicari.


Ketika kekhawatiran akan berkurangnya daya beli mata uang fiat meningkat, permintaan emas pun melonjak, mendorong harganya ke level tertinggi. Selama resesi akibat pandemi, kekhawatiran inflasi dan stimulus besar membuat harga emas menembus rekor lebih dari $2.000 per ons untuk pertama kalinya dalam sejarah.


Sinyal Teknis dan Sentimen Pasar: Pertanda Emas Akan Terus Naik?


Analisis teknikal awal tahun 2025 menunjukkan bahwa emas telah menembus rata-rata pergerakan utama, sebuah sinyal kuat dari momentum kenaikan yang berkelanjutan. Kondisi ini juga didukung oleh meningkatnya peluang resesi yang diperkirakan mencapai 60–70% berdasarkan berbagai indikator pasar.


Bukti lainnya adalah aliran dana masuk ke ETF berbasis emas yang terus meningkat. Ini menunjukkan bahwa investor besar tengah mempersiapkan diri menghadapi ketidakpastian. Ketika pasar saham mulai menembus level support kritis, investor cenderung berpindah ke aset yang lebih aman, seperti emas. Fenomena ini mengingatkan pada periode 2008–2009, di mana emas mengungguli saham hingga lebih dari 60%.


Sudut Pandang Pakar Investasi


Peter Lynch, tokoh ternama di dunia investasi, pernah mengungkapkan bahwa: "Kerugian terbesar sering kali datang dari mencoba menebak arah pasar, bukan dari pasar itu sendiri." Ungkapan ini sangat relevan saat menghadapi gejolak ekonomi. Emas bisa menjadi jawaban bagi mereka yang ingin tetap tenang ketika pasar sedang tidak bersahabat.


Prediksi ke Depan: Harga Emas Bisa Tembus Rekor Baru!


Banyak analis dari lembaga keuangan global memprediksi bahwa emas bisa menembus rekor tertinggi baru pada akhir tahun 2025. Bahkan, ada proyeksi bahwa harga emas bisa menyentuh kisaran $3.700 hingga $3.880 per ons jika resesi benar-benar terjadi.


Beberapa faktor yang mendukung lonjakan ini antara lain pembelian besar-besaran oleh bank sentral, meningkatnya permintaan dari investor ritel, dan ekspektasi bahwa kebijakan moneter akan tetap longgar.


Namun, jika kondisi ekonomi membaik secara tak terduga, harga emas mungkin akan stabil atau sedikit menurun. Meski demikian, kecil kemungkinan harga emas akan turun drastis mengingat “batas bawah” harga emas tampaknya telah naik secara permanen dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan tingginya ketidakpastian global.


Dengan sejarah kinerja yang kuat selama resesi dan berbagai sinyal ekonomi saat ini, emas kembali menunjukkan perannya sebagai aset penting dalam strategi perlindungan kekayaan. Bagi Anda yang ingin meminimalkan risiko kerugian dan menjaga nilai aset di tengah kontraksi ekonomi, memperbesar eksposur terhadap emas bisa menjadi langkah strategis yang bijak.