Meskipun pengendalian penyakit infeksi telah mengalami kemajuan signifikan di tingkat global, Demam Reumatik Akut (DRA) masih menjadi masalah kesehatan serius, terutama di wilayah dengan sumber daya terbatas.


Anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan, dengan risiko jangka panjang seperti penyakit jantung reumatik yang bisa berkembang secara diam-diam.


Mekanisme Imun yang Lebih Kompleks dari Sekadar Imitasi Molekuler


Selama bertahun-tahun, DRA dipercaya disebabkan oleh kemiripan antara antigen Streptococcus Grup A (GAS) dengan jaringan tubuh manusia, dikenal sebagai molecular mimicry. Namun, riset terkini mengungkap bahwa kerusakan tidak hanya terjadi akibat respons antibodi, tapi juga karena aktivasi sel T yang menargetkan sel endotel pada katup jantung.


Penelitian terbaru menunjukkan bahwa aktivasi sistem imun juga dapat dipicu oleh superantigen, zat yang memicu respons imun berlebihan hanya pada individu tertentu. Faktor genetik, terutama keberadaan alel HLA kelas II seperti HLA-DR7 dan HLA-DQ8, telah dikaitkan dengan kerentanan lebih tinggi terhadap DRA. Ini menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting, bukan hanya sekadar kebetulan saat terinfeksi GAS.


Terobosan Diagnostik: Kriteria Jones Terbaru dan Peran Penting Echocardiografi


Revisi terbaru Kriteria Jones tahun 2023 membawa perubahan besar dalam mendeteksi DRA. Salah satunya adalah pengakuan terhadap karditis subklinis, peradangan jantung yang tidak terdengar melalui stetoskop, namun dapat dideteksi lewat echocardiography Doppler. Dengan metode ini, kerusakan jantung dapat ditemukan lebih awal, sebelum menjadi permanen.


Selain pemeriksaan antibodi seperti Anti-Streptolysin O (ASO) dan Anti-DNase B, kini ilmuwan mulai fokus pada biomarker inflamasi seperti IL-6 dan TNF-alpha yang dapat membantu memperkirakan tingkat keparahan dan risiko kekambuhan.


Komplikasi Jantung: Progresi Senyap yang Sering Terabaikan


Meskipun DRA bisa sembuh dengan sendirinya, komplikasi jangka panjangnya sangat serius. Penyakit jantung reumatik (PJR) yang menyerang katup mitral dan aorta dapat muncul bertahun-tahun setelah episode pertama. Studi terbaru menunjukkan bahwa sekitar 40% anak-anak yang pernah mengalami DRA dapat mengembangkan PJR laten dalam lima tahun apabila tidak rutin menjalani profilaksis sekunder.


Dalam kasus yang lebih kompleks, pencitraan dengan MRI jantung kini mulai digunakan untuk mendeteksi perubahan awal berupa fibrosis di otot jantung. Teknologi ini sangat bermanfaat untuk diagnosis dini, terutama pada kasus yang tidak menunjukkan gejala jelas.


Profilaksis Sekunder: Meningkatkan Efektivitas dengan Teknologi Baru


Pemberian injeksi benzathine penicillin G secara intramuskular tetap menjadi andalan untuk mencegah kekambuhan. Namun, banyak pasien yang tidak patuh akibat rasa sakit saat suntikan atau kesulitan akses layanan kesehatan. Ini menjadi tantangan besar dalam pengendalian DRA.


Solusi inovatif sedang dikembangkan, termasuk formulasi penisilin kerja panjang dan perangkat suntik dengan pelepasan lambat. Salah satu penelitian yang dipimpin oleh Prof. Michael Good sedang menguji injeksi berbasis polimer yang mampu menjaga kadar efektif penisilin selama 60 hari. Teknologi ini diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan dan menekan angka kekambuhan.


Tantangan Baru Setelah Pandemi: Mengapa Kasus DRA Kembali Meningkat?


Pandemi COVID-19 telah mengubah pola penyebaran banyak penyakit, termasuk infeksi Streptococcus Grup A. Selama masa pembatasan sosial, penularan GAS menurun drastis, menyebabkan menurunnya kekebalan alami masyarakat. Setelah pembatasan dicabut, terjadi lonjakan kasus DRA yang cukup signifikan.


Kondisi ini menuntut para tenaga kesehatan untuk lebih waspada, terutama saat menghadapi kasus faringitis pada anak usia sekolah. Namun, penggunaan antibiotik harus selektif agar tidak menimbulkan resistensi, terutama jika infeksi disebabkan oleh virus.


Penanganan DRA tidak bisa dilakukan oleh satu spesialis saja. Dibutuhkan kerja sama antara dokter anak, kardiolog, ahli penyakit infeksi, dan reumatolog. Di daerah endemis, program skrining berbasis sekolah dan intervensi komunitas terbukti efektif dalam menekan angka kasus baru.


Meski termasuk penyakit yang sepenuhnya bisa dicegah, DRA tetap memerlukan kewaspadaan tinggi, inovasi riset, dan strategi kesehatan publik yang menyeluruh. Dengan kemajuan diagnostik, pendekatan berbasis genetik, dan terapi baru yang tengah dikembangkan, harapan untuk mengatasi DRA kini lebih terbuka lebar.


simak video "mengenal Demam Reumatik Akut"

video by "Pelayanan Jantung Terpadu RSCM"